Jumat, 20 November 2009
Job Enrichment
“Job Enrichment”
NAMA KELOMPOK
AGENG RIYADI 10507006
ARDANI 10507022
M. ABRIANTO 10507290
PANJI AGUNG 10507277
Job Enrichment
Dalam dunia kerja ada yang namanya Job Enrichment dan juga ada Job Enlargement. Pengertian Job Enlargement adalah memberikan tugas dan tanggung jawab lebih besar pada karyawan. Namun ini dalam bentuk kuantitas. Misalnya, seorang tenaga telemarketing, diminta untuk melakukan panggilan lebih banyak lagi. Job Enrichment hampir sama dengan job enlargement. Hanya bedanya, jika job enlargement menambah dalam kuantitas, maka job enrichment menambah pekerjaan dalam hal kualitas, atau kompleksitasnya. Misalnya, seorang teknisi yang biasanya menangani mesin, kemudian ditugaskan untuk menangani mesin baru yang lebih kompleks.
Job Enrichment memilki keuntungan dan kerugian dalam dunia kerja. Keuntungan dari Job Enrichment apabila diterapkan di dunia kerja yaitu dapat membuat lebih termotivasi untuk bekerja dan memperluas serta memperdalam kualitas dari pekerjaan yang digelutinya itu. Job Enrichment juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi pekerja yaitu pekerja yang telah terstimulasi secara optimal dalam pekerjaannya. Pekerja yang telah optimal seperti ini akan mengalami overstimulasi jika pekerjaannya disertakan dalam program Job Enrichment.
Metode Job Enrichment ini telah digunakan dengan cukup sukses di banyak perusahaan sejak tahun 70-an seperti AT&T dan Western Union di Amerika Serikat, Norsk Hydro di Norwegia, dan Volvo Corporation di Swedia). Program Job Enrichment yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
• Mengelompokkan pekerja dalam tim yang baru
• Meningkatkan keahlian pekerja
• Tetapkan target
• Memberikan umpan balik
Metode yang dierapkan dalam Job Enrichment ini berisi unsur-unsur “Motivator” yang dikemukakan oleh HERZBERG. Program Job Enrichment lebih berhasil jika dikenakan pada pekerja yang tidak takut terhadap tanggung jawab baru dan yang menganggap penting bekerja keras untuk mencapai keberhasilan pribadi dalam lingkungan kerjanya.
Implikasi Job Enrichment terhadap Produktifitas Pekerja
- Efisiensi ditentukan oleh beberapa aspek organisasi kerja dan rancangan pekerjaan (Spesialisasi, penyederhanaan, tata urutan, keseimbangan beban kerja dan mekanisasi)
- Efisiensi akan berkurang pada saat pekerjaan menjadi lebih rumit, kurang terspesialisasi dan kurang mekanis.
- Efisiensi akan meningkat pada saat ada sejumlah pengurangan spesialisasi.
* Efek job enrichment terhadap produktifitas di tentukan, apakah efisiensi meningkat atau berkurang, dan sejauh mana penurunan efisiensi dibarengi dengan kecepatan kerja para karyawan.
* Efektifitas Job Enrichment ditentukan oleh karakteristik para pekerja yang pekerjaannya dirancang kembali.
Pekerjaan yang diperkaya dapat memotivasi secara intrinsik pada pekerja yang memiliki kebutuhan yang kuat terhadap keberhasilan dan kemandirian.
Untuk menepakan Job Enrichment ada 2 teknik dalam penerapannya, yaitu :
- Job Range : Perluasan pekerjaan (rentang pekerjaan) dengan kata lain apabila seorang pekerja yang mempunyai banyak macam pekerjaan maka range pekerjaan juga akan lebih luas lagi. Contoh, dalam sebuah toko bangunan atau yang biasa disebut toko material, kuli bangunan memiliki Job range yang lebih luas karena mempunyai banyak keahlian yang dimilikinya yaitu seperti menyemen, mengecet, memasang genting/genteng, membuat kerangka bangunan dan lain-lain ketimbang dengan penjaga atau pelayan toko material yang hanya melayani pelanggan yang datang ke toko bangunan tersebut.
- Job Depth : Pendalaman pekerjaan. Pendalaman ini bermaksud untuk lebih meguasai ruang lingkup pekerjaan yang digelutinya sehingga menghasilkan kualitas kinerja lebih baik lagi dari sebelumnya. Contoh, Guru di SMP yang mengajar satu atau beberapa dari sejumlah mata pelajaran yang ada di kurikulum berberda dengan guru di sekolah dasar (SD) yang mengajar anak muridnya semua mata pelajaran yang ada di kurikulum. Guru di SMP menunjukkan sebagai bentuk Job depth yang mendalami satu atau beberapa mata pelajaran saja untuk diajarakan kepada muridnya. Misalnya Guru Biologi mendalami ilmu mahluk hidup, Guru Geografi mendalami ilmu Struktur, permukaan dan Isi Bumi , Guru matematika mendalami ilmu perhitungan dan logika.
Jumat, 13 November 2009
Teori maslow & teori tujuan
Teori MasLow & Teori Tujuan
NAMA KELOMPOK
AGENG RIYADI 10507006
ARDANI 10507022
M. ABRIANTO 10507290
PANJI AGUNG 10507277
Teori Tujuan
Salah satu tujuan yang ingin dicapai seseorang yaitu berprestasi. Untuk mencapai suatu prestasi maka seseorang harus mencapai tujuan sesuai Visi dan Misi yang sudah ditentukan sebelumnya. Berprestasi adalah idaman setiap individu, baik itu prestasi dalam bidang pekerjaan, pendidikan, sosial, seni, politik, budaya dan lain-lain. Dengan adanya prestasi yang pernah diraih oleh seseorang akan menumbuhkan suatu semangat baru untuk menjalani aktifitas. Pengertian prestasi menurut Murray (dalam J. Winardi, 2004):
...Melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi atau mengorganisasi objek-objek fiskal, manusia atau ide-ide untuk melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang berlaku. Mencapai perporman puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.
Pengertian kebutuhan untuk berprestasi menurut McClelland (dalam Alex Sabur, 2003:285) adalah suatu daya dalam mental manusia untuk melakukan suatu kegiatan yang lebih baik, lebih cepat, lebih efektif, dan lebih efisien daripada kegiatan yang dilaksanakan sebelumnya. Ini disebabkan oleh virus mental.
Dari pendapat tersebut Alex Sabur mengartikan bahwa dalam psikis manusia, ada daya yang mampu mendorongnya ke arah suatu kegiatan yang hebat sehingga dengan daya tersebut, ia dapat mencapai kemajuan yang teramat cepat. Daya pendorong tersebut dinamakan virus mental, karena apabila berjangkit di dalam jiwa manusia, daya tersebut akan berkembang biak dengan cepat. Dengan kata lain, daya tersebut akan meluas dan menimbulkan dampak dalam kehidupan.
McClelland juga berpendapat tentang motivasi berprestasi. McClelland dan Atkinson (1953:75) menyebutkan �Setiap orang mempunyai tiga motif yakni motivasi berprestasi (achievement motivation), motif bersahabat (affiliation motivation) dan motif berkuasa (power motivation)�. Dari ketiga motif itu dalam penelitian ini akan difokuskan pada motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi dapat untuk bekerja dan belajar.
Menurut McClelland dan Atkinson (1953:78) bahwa �Achiement motivation should be characterzed by high hopes of success rather than by fear of failure� artinya motivasi berprestasi merupakan ciri seorang yang mempunyai harapan tinggi untuk mencapai keberhasilan dari pada ketakutan kegagalan. Selanjutnya dinyatakan McClelland (1953:78) bahwa �motivasi berprestasi merupakan kecenderungan seseorang dalam mengarahkan dan mempertahankan tingkah laku untuk mencapai suatu standar prestasi�. Pencapaian standar prestasi digunakan oleh siswa untuk menilai kegiatan yang pernah dilakukan. Siswa yang menginginkan prestasi yang baik akan menilai apakah kegiatan yang dilakukannya telah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Ahli lain yakni Gellerman (1963: 67) menyatakan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan sangat senang kalau ia berhasil memenangkan suatu persaingan. Ia berani menanggung segala resiko sebagai konsekwensi dari usahanya untuk mencapai tujuan. Sedangkan motivasi berprestasi menurut Tapiardi (1996:105) adalah sebagai suatu cara berfikir tertentu apabila terjadi pada diri seseorang cenderung membuat orang itu bertingkah laku secara giat untuk meraih suatu hasil atau prestasi.
Dari pendapat di atas dapat di pahami bahwa dengan adanya motivasi berprestasi dalam diri individu akan menumbuhkan jiwa kompetisi yang sehat, akan menumbuhkan individu-individu yang bertanggung jawab dan dengan motivasi berprestasi yang tinggi juga akan membentuk individu menjadi pribadi yang kreatif.
Komarudin (1994) menyebutkan bahwa motivasi berprestasi meliputi pertama kecenderungan atau upaya untuk berhasil atau mencapai tujuan yang dikehendaki; kedua keterlibatan ego individu dalam suatu tugas; ketiga harapan suatu tugas yang terlihat oleh tanggapnya subyek; keempat motif untuk mengatasi rintangan atau berupaya berbuat sesuatu dengan cepat dan baik.
Aspek Motivasi Berprestasi
McClelland (dalam Marwisni Hasan 2006) menyatakan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi dengan bertujuan mencapai Visi dan Misi yang sudah ditentukan sebelumnya, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Mempunyai tanggung jawab pribadi.
Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi akan melakukan tugas sekolah atau bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Siswa yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan akan puas dengan hasil pekerjaan karena merupakan hasil usahanya sendiri.
b. Menetapkan nilai yang akan dicapai atau menetapkan standar unggulan.
Siswa menetapkan nilai yang akan dicapai. Nilai itu lebih tinggi dari nilai sendiri (internal) atau lebih tinggi dengan nilai yang dicapai oleh orang lain (eksternal). Untuk mencapai nilai yang sesuai dengan standar keunggulan, siswa harus menguasai secara tuntas materi pelajaran.
c. Berusaha bekerja kreatif.
Siswa yang bermotivasi tinggi, gigih dan giat mencari cara yang kreatif untuk menyelesaikan tugas sekolahnya. Siswa mempergunakan beberapa cara belajar yang diciptakannya sendiri, sehingga siswa lebih menguasai materi pelajaran dan akhirnya memperoleh prestasi yang tinggi.
d. Berusaha mencapai cita-cita
Siswa yang mempunyai cita-cita akan berusaha sebaik-baiknya dalam belajar atau mempunyai motivasi yang tinggi dalam belajar. Siswa akan rajin mengerjakan tugas, belajar dengan keras, tekun dan ulet dan tidak mundur waktu belajar. Siswa akan mengerjakan tugas sampai selesai dan bila mengalami kesulitan ia akan membaca kembali bahan bacaan yang telah diterangkan guru, mengulangi mengerjakan tugas yang belum selesai. Keberhasilan pada setiap kegiatan sekolah dan memperoleh hasil yang baik akan memungkinkan siswa mencapai cita-citanya.
e. Memiliki tugas yang moderat.
Memiliki tugas yang moderat yaitu memiliki tugas yang tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Siswa dengan motivasi berpretasi yang tinggi, yang harus mengerjakan tugas yang sangat sukar, akan tetapi mengerjakan tugas tersebut dengan membagi tugas menjadi beberapa bahagian, yang tiap bagian lebih mudah menyelesaikanya.
f. Melakukan kegiatan sebaik-baiknya
Siswa yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi akan melakukan semua kegiatan belajar sebaik mungkin dan tidak ada kegiatan lupa di kerjakan. Siswa membuat kegiatan belajar dari mentaati jadwal tersebut. Siswa selalu mengikuti kegiatan belajar dan mengerjakan soal-soal latihan walaupun tidak disuruh guru serta memperbaiki tugas yang salah. Siswa juga akan melakukan kegiatan belajar jika ia mempunyai buku pelajaran dan perlengkapan belajar yang dibutuhkan dan melakukan kegiatan belajar sendiri atau bersama secara berkelompok.
g. Mengadakan antisipasi.
Mengadakan atisipasi maksudnya melakukan kegiatan untuk menghindari kegagalan atau kesulitan yang mungkin terjadi. Antisipasi dapat dilakukan siswa dengan menyiapkan semua keperluan atau peralatan sebelum pergi ke sekolah. Siswa datang ke sekolah lebih cepat dari jadwal belajar atau jadwal ujian, mencari soal atau jawaban untuk latihan. Siswa menyokong persiapan belajar yang perlu dan membaca materi pelajaran yang akan di berikan guru pada hari berikutnya.
Teori Abraham H. Maslow
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai tujuh enam atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan social (social needs) yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Di dalam kebutuhan sosial ini terdapat kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status, seseorang harus berprestasi, menjadi kompeten, serta mendapat pengakuan sebagai orang yang berprestasi dan kompeten untuk dapat dihargai; (5) kebutuhan intelektual (intellectual needs) terdapat didalamnya adalah individu memperoleh pemahaman dan pengetahuan; (6) kebutuhan estetis (aesthetic needs), setelah mencapai tingkatan intelektual tertentu, maka individu akan memikirkan tentang kebutuhan akan keindahan, kerapian, serta keseimbangan; (7) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata agar dapat menemukan pemenuhan pribadi dan mencapai potensi diri.
Aplikasi Teori Motivasi Maslow
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-didiknya. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Jurnal
PEMBERIAN MOTIVASI DARI ORANG TUA ANAK TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LAPAS ANAK
Tulisan ini disadur dari Tesis yang ditulis oleh Rusli Nasution - Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Manajemen – IMMI Jakarta dengan judul penelitian: “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Lapas Anak dan Pemberian Motivasi Orang Tua Terhadap Keberhasilan Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan di Lapas Anak Pria Tangerang”.
Abstrak: Anak merupakan Amanah Tuhan bagi orang tua yang masih suci laksana permata (Imam Al-Ghazali) dan baik buruknya anak tergantung pada pembinaan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Pemberian motivasi dari orang tua anak terhadap Anak Didik Pemasyarakatan, mempunyai tujuan agar pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Anak memperoleh hasil sesuai dengan tujuan pemasyarakatan itu sendiri.
Kata Kunci: Motivasi, Orang Tua, Anak Didik Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai bagian dari generasi muda adalah merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia (SDM) yang sangat potensial bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu dalam rangka tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan dan pembimbingan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan anak/generasi muda dan bangsa di masa mendatang.
Menurut Imam Al Ghazali, anak merupakan Amanah bagi orang tua yang masih suci laksana permata, baik buruknya anak tergantung pada pembinaan yang diberikan oleh orang tua kepada mereka (Syamsul Yusuf LN., 2003:34). Sehingga setiap orang tua wajib menjaga dan melindungi, memberikan kesejahteraan, memberikan pendidikan dan keterampilan, serta membekali dengan pendidikan agama dan moral. Karena dalam diri setiap anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Dalam pembinaan dan pembimbingan terhadap anak peran orang tua/wali sangat dominan sebagai pemberi motivasi untuk mendorong sang anak menjadi anak yang berbuat kebajikan dan meninggalkan kemungkaran (kejahatan/kenakalan). Tapi dalam kenyataannya banyak orang tua yang tidak mampu menjalankan perannya sebagai orang tua, malah menghancur- kan masa depan sang anak. Banyak fakta dalam kehidupan sehari-hari bahwa kewibawaan orang tua telah luntur dan bias, sebagai indikator dapat dikemukakan beberapa pemberitaan diberbagai media massa, antara lain: sang ibu memberi ijin anak gadisnya sebagai Penjaja Seks Komersial (PSK) atau lebih ironis lagi ada orang tua yang menjual keperawanan anak gadisnya dan ada pula ayah yang menghamili anak gadisnya. Serta kasus-kasus lain yang memprihatinkan, yang menyebabkan anak menjadi nakal, seperti: kasus perceraian orang tua (broken Home), bapak atau ibu yang berselingkuh, bapak atau ibu yang jarang ada di rumah (super sibuk), kemiskinan, pengangguran, kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, salah urus dan/atau salah gaul, dan lain-lain. Bila faktanya seperti itu, apakah masih dapat diharapkan peran orang tua untuk memotivasi anak-anaknya agar tidak nakal dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum atau terhadap anak yang telah menjadi penghuni lembaga Pemasyarakatan, apakah mereka juga masih peduli terhadap pemberian motivasi yang dimaksud. Terhadap Anak Nakal dan/atau Anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum dan telah menjadi penghuni Lapas sangat memerlukan perhatian dan penanganan khusus, karena setiap anak memiliki potensi, ciri, dan sifat yang khas. Kompleksitas kegiatan pembinaan/pembimbingan Anak Didik Pemasyarakatan (ADP) di samping menuntut ketersediaan SDM Petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang mampu menganalisis serta menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan multidisipliner melalui berbagai kajian praktis implementatif juga perlu mendapat dukungan penuh dari orang tua/keluarga dalam bentuk “pemberian motivasi”.
2. Pengertian-pengertian
a. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan system, kelembagaan dan cara-cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
b. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan YME, intelektualitas, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (PP No. 31 Th 1999, Pasal 1 angka 1).
c. Anak Didik Pemasyarakatan (ADP) yang terdiri dari Anak Pidana (AP), Anak Negara (AN), dan Anak Sipil (AS) adalah:
1) AP yaitu anak yang berdasarkan keputusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
2) AN yaitu anak yang berdasarkan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
3) AS yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
d. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, ayah dan/atau ibu angkat.
e. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga.
B. Sistem Pemidanaan yang Pernah Berlaku di Indonesia
1. Sistem Kepenjaraan (1945 – 1964)
Sejak Indonesia merdeka, sebelum sistem pemasyarakatan muncul, terlebih dahulu diberlakukan sistem Kepenjaraan yang berasal dari Eropah yang dibawa Belanda ke Indonesia dan diterapkan dengan memberlakukan Gestichten Reglement (Reglement Penjara) stbl 1917 No. 708.
Di dalam sistem Kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan. Dengan demikian, tujuan diadakannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk membuat jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu, peraturan-peraturan kepenjaraan dibuat keras bahkan sering tidak manusiawi.
2. Sistem Pemasyarakatan (1964 – 1995)
Di era ini telah diberlakukan 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan adalah pembinaan pembimbingan dengan tahapan orientasi, pembinaan dan assimilasi. Tahap orientasi dimaksudkan agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya.
Tahap pembinaan narapidana, dibina, dan dibimbing agar supaya tidak melakukan lagi tindak pidana dikemudian hari, apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya.
Tahap assimilasi, dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak menjadi canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan apabila telah habis masa pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas atau pembinaan karena mendapat remisi.
3. Sistem Pemasyarakatan Baru (1995 – Sekarang)
Walaupun sejak tahun 1964 Indonesia telah menganut sistem pemasyarakatan, namun belum mempunyai dasar hukum. Yang digunakan sebagai dasar hukum dengan beberapa perubahan sejak tahun 1917 adalah Reglemen Penjara, yaitu suatu undang-undang yang sudah tidak layak untuk digunakan karena masih bersumber dari Hukum Kolonial.
Tentu saja hal ini tidak bisa dipertahankan, maka pada tahun 1995 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang merupakan penyempurnaan dari sistem pemasyarakatan yang masih berbau kolonial.
Dalam sistem Pemasyarakatan (baru), tujuannya adalah meningkat- kan kesadaran (counsciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi dan self development.
Tahap introspeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Sedangkan tahap motivasi diberikan teknik memotivasi diri sendiri bahkan sesame teman lainnya.
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab” (Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan).
Dari uraian di atas terlihat adanya pergeseran sistem pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan, kemudian berkembang ke sistem pemasyarakatan (baru). Sebagai konsekuensi dari pergeseran-pergeseran termaksud sudah barang tentu proses pemasyarakatan juga disesuaikan dengan pola pembinaan berdasarkan tujuan pemasyarakatan yang dianut.
C. Hakikat Pembinaan
1. Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan
Secara umum warga binaan, khususnya anak Didik Pemasyarakatan adalah manusia biasa, namun tidak dapat disamakan dengan narapidana lainnya. Ada spesifikasi tertentu yang menyebabkan seseorang menjadi penghuni Lapas Anak, maka dalam pembinaan mereka harus menerapkan prinsip-prinsip dasar pembinaan.
Prinsip-prinsip dasar tersebut terdiri dari empat komponen Pembina (Harsono, 1995:51), yaitu: (1) Diri sendiri, narapidana itu sendiri; (2) Keluarga, adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekat; (3) Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga Pemasyarakatan /Rutan dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat atau pejabat setempat; (4) Petugas dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lapas, Rutan, Balai Bispa, Hakim, Wasmat, dsb.
Keempat komponen “Pembina” tersebut harus memahami secara benar apa yang menjadi tujuan dari pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan, terutama para orang tua dapat mengambil posisi dan berperan serta terhadap pembinaan ADP dalam bentuk pemberian motivasi.
2. Tujuan Pembinaan
Dari ketiga sistem pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya adalah sama-sama mengharapkan agar terpidana tidak lagi mengulangi perbuatannya selepas menjalani pemidanaan yang sekaligus untuk melindungi masyarakat dari perbuatan melanggar hukum yang mungkin diulangi lagi.
Tujuan “sistem pemasyarakatan baru” yang berlaku saat ini adalah: meningkatkan kesadaran ADP (Consciousness) dengan tahap interospeksi, motivasi, dan self development (pengembangan SDM) dengan orientasi pembinaan Bottom Up Approach.
3. Sasaran Pembinaan
Sasaran pembinaan dan pembimbingan ADP adalah meningkatkan kualitas ADP yang pada awalnya sebagian atau seluruhnya dalam kondisi yang kurang, seperti: kualitas ketaqwaan kepada Tuhan YME; kualitas intelektual; kualitas sikap dan perilaku; kualitas profesionalisme /keterampilan; kualitas kesehatan jasmani dan rohani.
4. Indikator Keberhasilan Pembinaan
a. Anak didik melaksanakan ibadah sesuai agama masing-masing, baik secara perorangan maupun berjamaah. Bagi yang beragama Islam melaksanakan Sholat lima waktu sehari semalam.
b. Anak didik telah tamat belajar di SD/SMP/SMA Lapas Anak atau telah mengikuti latihan-latihan kepramukaan dengan baik.
c. Anak didik bersikap, berperilaku dan berkesadaran hukum, berkesadaran masyarakat, bangsa dan negara.
d. Anak didik telah memiliki keterampilan sebagai bekal bila telah keluar dari Lapas, antara lain:
1) keterampilan jahit menjahit, atau
2) keterampilan montir/teknik radio, atau
3) keterampilan pertukangan kayu, atau
4) keterampilan las/pengelasan, atau
5) keterampilan bercocok tanam/pertanian, atau
6) keterampilan kerajian tangan.anyaman bambu, atau
7) keterampilan cukur rambut, atau
8) keterampilan lain-lain.
e. Anak didik sehat jasmani dan rohani. Penyakit yang dibawa sewaktu masuk Lapas telah sembuh.
D. PEMOTIVASIAN ORANG TUA TERHADAP ANAK
1. Teori Motivasi
Berbagai teori motivasi telah berkembang sehingga menempatkan motivasi sebagai determinan penting bagi keberhasilan suatu pembinaan yang dilaksanakan oleh baik seseorang maupun kelompok/organisasi manapun juga.
Menurut Stonner dan Wankel (1986: 419): “It is useful to review some of the major classicications of motivation theories, since each theorotical perspective will seed light on how motivation influences work performance. Distinction are made on the basis of content theories, which focus “what” of motivations, and process theorieswhich focus on the “how” of motivarions. Reinforcement theories as a third approach, emphasize the ways in which behavior learned”.
Uraian di atas menjelaskan, bahwa cara untuk mempelajari motivasi didasarkan atas tiga pendekatan, yaitu: teori kepuasan (content theories), teori proses (process theories), dan teori penguatan (reinforcement theories).
Ketiga teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Teori Kepuasan memusatkan perhatian ke dalam diri seseorang dengan penekanan pada faktor-faktor kebutuhan yang akan memotivasi orang tersebut.
b. Teori Proses, menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku di arahkan, digerakkan, didukung, dan/atau dihentikan.
c. Teori Penguatan, menekankan pada aspek perilaku dari sudut penyulut mekanis dalam mempelajari kebiasaan dengan dorongan eksternal dan internal.
Menurut Harsono (1995:154), berpendapat bahwa:
a. “Motivasi adalah bagian yang terpenting dalam pembinaan narapidana. Motivasi menjadi penting, karena hanya dengan memiliki motivasi, seseorang narapidana dapat memperbaiki diri. Tanpa motivasi untuk memperbaiki diri seseorang narapidana akan tetap seperti semula”.
b. “Motivasi adalah kemauan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.”
Menurut Siagian (1995:142), berpendapat bahwa dalam motivasi terdapat tiga komponen utama, yakni: kebutuhan, dorongan, dan tujuan.
Menurut Abin Syamsudin Makmun (2002:37) berpendapat, bahwa: “Motivasi tumbuh dan muncul dengan cara datang dari dalam diri individu itu sendiri, ada juga yang datang dari lingkungan”.
Dari pemahaman terhadap beberapa pendapat di atas, bila dikaitkan dengan pemberian motivasi/pemotivasian orang tua dapat dirumuskan sebagai berikut: Motivasi yang harus diberikan orang tua terhadap anaknya yang sedang mengikuti proses pembinaan pada Lapas anak adalah memberi dorongan agar anak mampu memotivasi diri sendiri untuk mengembangkan kepribadian dan kemandirian sehingga tujuan pembinaan; agar anak didik menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana “dapat terwujud”. Secara leksikal, arti “dorongan ada beberapa macam, yaitu sorongan, tolakan, desakan, dan anjuran keras”. (WJS Poerwadarminta, 1976: 258-688).
Di dalam ilmu pendidikan, dorongan disebut juga sebagai motivasi. Kaitannya dengan motivasi orang tua terhadap anaknya adalah mendesak dan anjuran keras. Selanjutnya untuk dapat terpenuhinya kebutuhan anak didik, baik oleh Lapas maupun oleh orang tua harus memahami dan menerapkan teori hirarkhi kebutuhan Maslow. Maslow, dalam Hersey dan Blanchard (1995:31), mengidentifikasi kebutuhan manusia pada lima set tingkatan, yakni: “psiological needs, safety needs, love needs, dan needs for self actualization”.
Dari kelima kebutuhan tersebut, dua di antaranya: psiological needs dan safety needs, yaitu kebutuhan biologis, sandang, pangan dan papan serta rasa aman adalah merupakan kebutuhan primer. Sedangkan tiga tingkatan lainnya adalah merupakan kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan sosial (afiliasi), kebutuhan adanya pengakuan dan aktualisasi /perwujudan diri.
Pemotivasian (pemberian motivasi) dari seseorang kepada orang lain tentu ada tujuannya. Misalnya pemberian motivasi dari orang tua anak didik kepada anak didik adalah agar pembinaan yang dilakukan Lapas berhasil sesuai dengan tujuan pemasyarakatan itu sendiri.
2. Kedudukan Orang Tua dalam Pemotivasian
Pemberian Motivasi orang tua bagi anak memegang peran yang sangat strategis, mengingat anak adalah amanat Allah yang harus dididik, dibina dan dibimbing terhadap segala hal yang positif dan berguna bagi kehidupannya di masa yang akan datang apabila kelak sudah menjadi dewasa. Orang tua/ayah dalam kapasitasnya sebagai kepala/pemimpin keluarga adalah “pemegang amanat” yang akan dimintai pertanggung- jawaban dihadapan Tuhan YME kelak dikemudian hari.
Sabda Rasulullah SAW: “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya (Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung- jawabannya atas apa yang dipimpinnya). Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin” (Yusuf Qardlawi, 1971:707).
Menurut Imam Al Ghazali, anak merupakan amanat bagi orang tua yang masih suci laksana permata, baik buruknya anak tergantung pada pembinaan yang diberikan oleh orang tua kepada mereka (Syamsu Yusuf LN, 2003: 34).
Orang tua sebagai yang dianggap memiliki peran terbesar di dalam keluarga wajib mendorong anaknya untuk menimba ilmu pengetahuan dalam rangka menjadikan “keluarga sakinah”. Baik buruknya perangai anak, sangat dipengaruhi oleh peran serta orang tua dalam sebuah keluarga.
3. Peran, Tugas, dan Kewajiban Orang Tua
a. Peran Orang Tua
Secara garis besar peran orang tua terhadap anak di dalam keluarga adalah sebagai motivator, fasilitator dan mediator. Sebagai motivator, orang tua harus senantiasa memberikan motivasi/dorongan terhadap anaknya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan larangan Tuhan, termasuk menuntut ilmu pengetahuan. Sebagai fasilitator, orang tua harus memberikan fasilitas, pemenuhan kebutuhan keluarga/anak berupa sandang pangan dan papan, termasuk kebutuhan pendidikan.
Sebagai mediator, orang tua harus bertindak sebagai mediasi (perantara, penengah) dalam hubungan kekeluargaan, kemasyarakatan terutama dengan sekolah dan anaklah yang menjadi pelaku utama yang diberi peran penting.
Pemberian motivasi dari orang tua dalam pembinaan anak agar menjadi anak yang soleh/salihah adalah sesuatu yang mutlak, karena hubungan antara orang tua dan anak adalah merupakan hubungan hakiki baik secara psikologis maupun mental spritual.
Selanjutnya dapat disimak beberapa pernyataan dan pendapat yang mengisyaratkan peran orang tua dalam pembinaan anak, antara lain:
1) Kata kunci pembangunan SDM Anak adalah pendidikan. Menurut M. Surya, keunggulan hanya diperoleh melalui pendidikan yang diprogramkan secara sistematis (A. Sasmita Effendi dan Syaiful Sagala, 2001:66).
2) Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari (Soerjono Soekamto, 1990:496).
3) Keluarga diwajibkan untuk menyelami dan mendalami serta mengenalkan ajaran-ajaran agama dalam perilakunya sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhan YME (Abu Ahmadi, 1991:91).
4) Keutuhan rumah tangga adalah syarat utama dalam pembinaan anak (Rusli Nasution, 1996:4).
5) Selamatkan Remaja dengan Pendidikan Agama (Rusli Nasutian, 1998:1)
6) Bila suatu keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya, maka berarti keluarga tersebut telah mengalami kemandekan atau disfungsi akan mengganggu perkembangan kepribadian anak (Syamsu Yusuf, 2003:41).
7) Keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan, merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak yang tidak sehat (Syamsu Yusuf, 2003: 43).
b. Tugas dan Kewajiban Orang Tua
Tentang tugas dan kewajiban orang tua secara gamblang dapat disimak dalam Firman Allah SWT, Sabda Rasulullah SAW, Deklarasi PBB tentang Hak Anak-anak serta beberapa undang-undang yang mengaturnya, yaitu:
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar dan yang keras; yang tidak mendurhakakan Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
Deklarasi Hak Anak-anak:
“Majelis umum PBB memaklumkan Deklarasi Hak Anak-anak dengan maksud agar anak-anak dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan, berhak menikmati hak-hak dan kebebasan baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat”.
Deklarasi PBB:
Selanjutnya MU-PBB menghimbau para orang tua wanita dan pria secara perseorangan, organisasi sukarela, para penguasa setempat dan pemerintah pusat agar mengakui hak-hak ini dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak ini dan memperjuangkan pelaksanaan hak-hak tersebut secara bertahap baik melalui undang-undang maupun peraturan pemasyarakatan lainnya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
UU No. 23 Th 2002, tentang Perlindungan Anak yang memuat beberapa hal tentang perlindungan anak, yaitu: Bab III Pasal 4 s.d. 19, mengatur tentang Hak dan Kewajiban Anak; Bab IV Pasal 20 s.d. 26, mengatur tentang Kewajiban dan tanggung jawab perlindungan anak baik oleh Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004:
UU No. 23 Th 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang memuat beberapa hal tentang kekerasan dalam rumah tangga.
1) Bab III Pasal 5 s.d. 9, mengatur tentang Larangan kekerasan dalam rumah tangga (termasuk kekerasan oleh orang tua terhadap anak).
2) Bab V Pasal 11 s.d. 15, mengatur tentang kewajiban Pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (termasuk kewajiban orang tua).
3) Bab VIII Pasal 44 s.d. 53, mengatur tentang Ketentuan pidana (termasuk ketentuan pidana terhadap orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anaknya).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979:
UU No. 4 Th 1979, tentang kesejahteraan anak, yang memuat beberapa hal tentang kesejahteraan anak, yaitu:
1) Bab II Pasal 2 s.d. 8, mengatur tentang Hak Anak.
2) Bab III Pasal 9 dan 10, mengatur tentang tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997:
UU No. 3 Th 1997, tentang Pengadilan anak, yang memuat beberapa hal tentang Hakim dan Wewenang sidang anak. Pidana dan tindakan terhadap anak nakal, Acara Pengadilan Anak, Penuntutan, Lapas Anak, dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995: UU No. 12 Th 1995, tentang Pemasyarakatan yang memuat beberapa hal yang pada intinya merupakan perubahan tujuan pemidanaan dari sistem Kepenjaraan, ke sistem Pemasyarakatan (baru).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: UU No. 1 Th 1974, tentang Perkawinan Pasal 45:
Ayat (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Ayat (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Tanggung jawab dan pemberian motivasi seyogyanya diberikan:
1) Tidak hanya pada saat anak berada di rumah, tetapi juga pada saat anak sedang berada di luar rumah, seperti pada saat sekolah, kemping, bepergian ke luar kota, bermain dan sebagainya.
2) Tidak hanya pada saat bayi dan anak-anak, tetapi juga pada saat anak sudah dewasa atau sampai mampu mandiri/sudah kawin.
3) Tidak hanya pada saat anak belum menjadi nakal, tetapi juga setelah nakal dan/atau telah melakukan perbuatan melanggar hukum, bahkan anak yang telah menjadi penghuni Lapas.
Bila anak telah menjadi penghuni Lapas, tanggung jawab pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan memang telah beralih kepada Kepala Lapas beserta para Pembina/jajarannya, namun bukan berarti orang tua lepas tangan, tetapi harus tetap memberikan motivasi.
Agar pembinaan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan dapat mencapai hasil secara nyata, pemberian motivasi dari orang tua, bahkan dari segenap unsur masyarakat, seperti: tokoh pendidikan, tokoh agama, wanita, pemuda serta pemuka-pemuka masyarakat lainnya sangat berperan dan berpengaruh.
Jumat, 06 November 2009
“Motivasi”
TUGAS PSIKOLOGI MANAJEMEN
“Motivasi”
NAMA KELOMPOK
AGENG RIYADI 10507006
ARDANI 10507022
M. ABRIANTO 10507290
PANJI AGUNG 10507277
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) penggerak seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah memperoleh kekuatan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan dalam kehidupan..
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang.
Motivasi dapat berasal dari dalam (Intrinsik) dan dari luar diri seseorang (Eksrinsik). Dalam bidang pendidikan, seorang guru perlu mengetahui apakah anak didiknya cenderung memiliki motivasi yang timbul dari dalam ataupun dari luar diri mereka. Hal ini sangat diperlukan supaya guru dapat bertindak dengan sewajarnya dalam memberikan rangsangan kepada anak didiknya untuk selalu berusaha mengembangkan motivasi yang dimilikinya.
Motivasi yang berasal dari dalam diri yaitu yang didorong oleh faktor kepuasan dan ingin tahu .Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.yang kemudian disebut juga dengan motivasi intrinsik. Sedangkan motivasi yang berasal dari luar yaitu perangsang ataupun stimulus dari luar (sebagai contohnya ialah nilai, hadiah serta bentuk-bentuk penghargaan lainnya) adalah ‘motivasi ekstrinsik’. Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.
Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari rangsangan di dalam diri setiap individu. Ia terdiri daripada dorongan dan minat individu untuk me-lakukan suatu aktivitas tanpa mengharap ataupun meminta ganjaran. Sebagaimana yang sudah dibicarakan, Bruner (1966) mengaitkan motivasi intrinsik ini dengan naluri ingin tahu dan dorongan mencapai kemudahan belajar bagi murid yang baru masuk sekolah. Bagaimanapun, bukan semua motivasi intrinsik diwujudkan secara nyata, akan tetapi ada juga motivasi intrinsik yang dibentuk melalui pembelajaran dan pengalaman yang membawa kepuasan. Contohnya, kebisaaan membaca buku cerita dan bermain alat musik merupakan gerakan motivasi intrinsik yang dibentuk berdasarkan pembelajaran dan pengalamannya.
Harter (1981) mengenal pasti lima dimensi kecenderungan motivasi intrinsik dalam bidang pembelajaran. Dimensi-dimensi ini adalah insentif bekerja untuk memuaskan minat dan sifat ingin tahu, percobaan untuk mencapai penguasaan yang bebas, penilaian yang bebas berkenaan dengan apa yang hendak dilakukan di dalam kelas dan semangat untuk dapat meraih keberhasilan. Pelajar yang lebih cenderung ke arah motivasi intrinsik menyukai pekerjaan yang menantang. Mereka mempunyai insentif yang lebih untuk belajar memanfaatkan kepuasan diri sendiri daripada mengambil hati guru untuk mendapatkan nilai yang baik. Mereka lebih suka mencoba mengatasi masalah dengan sendirinya daripada bergantung pada bantuan ataupun bimbingan guru. Mereka juga menerapkan suatu sistem penguasaan target dan taraf pencapaian yang memperbolehkan mereka membuat penilaian yang bebas berkenaan dengan keberhasilan ataupun kegagalan mereka di dalam kelas tanpa bergantung pada guru untuk mendapatkan hasil ataupun penilaian.
Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik diwujudkan dalam bentuk rangsangan dari luar yang bertujuan menggerakkan individu untuk melakukan suatu aktivitas yang membawa manfaat kepada individu itu sendiri. Motivasi ekstrinsik ini dapat dirangsang dalam bentuk-bentuk seperti pujian, insentif, hadiah, dan nilai. Selain itu membentuk suasana dan lingkungan yang kondusif juga dapat dikategorikan kedalam bentuk motivasi ekstrinsik, karena hal tersebut dapat mendorong seorang pelajar untuk lebih giat belajar.
Contoh motivasi ekstrinsik yaitu, pujian yang diberikan oleh guru kepada seorang anak didiknya karena pekerjaannya yang baik akan menyebabkan daya usaha atau motivasi anak didiknya tersebut meningkat. Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya (konsekwensi positif) dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan (konsekwensi negatif).
Konsekwensi positif ialah stimulus atau peristiwa yang menyebabkan kemajuan dalam pembelajaran ataupun perubahan kelakuan kearah yang positif. Konsekwensi ini lazimnya menggembirakan dan dapat disebut sebagai ganjaran. Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru ketik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru ketik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru ketik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Konsekwensi yang tidak menyebabkan kemajuan dalam pembelajaran adalah konsekwensi negatif. Konsekwensi negatif adalah stimulus atau peristiwa yang diberikan setelah suatu respons berlaku, sehingga dimungkinkan akan mengakibatkan peningkatan respons itu. Sebagai contohnya adalah guru yang memberikan konsekwensi mengelakkan sesuatu yang menghalang pelajar daripada memberikan perhatian dalam kelas supaya pelajar itu dapat menumpukan perhatian pada konsekwensi utama.
Antara jenis konsekwensi, terdapat konsekwensi utama dan konsekwensi sekunder. Konsekwensi utama terdiri dari benda ataupun peristiwa yang memberi kesan langsung kepada kelakuan seseorang dan tidak bergantung pada pembelajaran suatu konsekwensi. Contohnya, gula-gula dan mainan. Anak-anak yang diberi gula-gula apabila dia berkelakuan baik akan terus berkelakuan baik karena mereka tahu mereka akan mendapat ganjaran itu.
Konsekwensi utama ini diberikan kepada pelajar karena mereka belum tahu cara bertindak apabila mendapat konsekwensi sekunder. Konsekwensi sekunder ialah stimulus atau peristiwa yang memperkuat suatu respons melalui pembelajaran. Konsekwensi ini bersifat linguistik ataupun sosial. Contohnya pujian guru, perhatian guru, marah, senyuman dari guru ataupun apapun yang mengisyaratkan perasaan seorang guru. Konsekwensi ini menjadi konsekwensi sekunder setelah berlakunya pembelajaran beberapa lama. Menurut Walberg (1986), kedua jenis konsekwensi ini penting bagi peningkatan kualitas dan kuantitas pembelajaran anak didik (pelajar).
Di dalam kelas, guru perlu mengetahui jenis konsekwensi yang hendak diberikan dan seberapa sering guru perlu memberikan konsekwensi tersebut kepada muridnya. Ada konsekwensi yang dapat diberikan dengan sering, contohnya pujian, dukungan ataupun bujukan. Menurut Kazdin(1984), konsekwensi lebih berkesan apabila diberikan sesering mungkin pada peringkat pembelajaran baru. Oleh karena itu, pada saat pelajar berada dalam tahap awal untuk mempelajari sesuatu (kewajiban baru), mereka sebaiknya diberi pujian dan dukungan sesering mungkin.
Hukuman adalah suatu bentuk konsekwensi negatif dan ia sebaiknya tidak diberikan. Hukuman lazimnya digunakan oleh guru untuk menghapuskan kelakuan pelajar yang tidak baik. Hukuman ini mungkin berupa pekerjaan tambahan, skorsing, hukuman fisik dan berbagai jenis hukuman lainnya. Guru juga dapat menggunakan sindiran, kemarahan dan kritikan untuk menghukum kelakuan pelajar. Hampir semua jenis hukuman memberikan kesan buruk kepada pelajar. Oleh karena itu, konsekwensi jenis ini lebih baik tidak dilakukan. Hukuman boleh diberikan apabila jenis hukuman itu dibenarkan oleh pihak sekolah ataupun sesuai dengan ajaran yang diberlakukan.
Konsep Motivasi Internal dan Eksternal
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
Teori Abraham H. Maslow (Teori Humanistik)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai tujuh enam atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan social (social needs) yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok dan menjalin hubungan dengan orang lain. Di dalam kebutuhan sosial ini terdapat kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status, seseorang harus berprestasi, menjadi kompeten, serta mendapat pengakuan sebagai orang yang berprestasi dan kompeten untuk dapat dihargai; (5) kebutuhan intelektual (intellectual needs) terdapat didalamnya adalah individu memperoleh pemahaman dan pengetahuan; (6) kebutuhan estetis (aesthetic needs), setelah mencapai tingkatan intelektual tertentu, maka individu akan memikirkan tentang kebutuhan akan keindahan, kerapian, serta keseimbangan; (7) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata agar dapat menemukan pemenuhan pribadi dan mencapai potensi diri.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif..
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
- Memiliki paersepsi akurat tentang realitas.
- Menikmati pengalaman baru.
- Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak.
- Memiliki standar moral yang jelas.
- Memiliki selera humor.
- Merasa bersaudara dengan semua manusia.
- Memiliki hubungan pertemanan yang erat.
- Bersikap demokratis dalam menerima orang lain.
- Membutuhkan privasi.
- Bebas dari budaya dan lingkungan.
- Kreatif.
- Spontan.
- Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri.
- Mengakui sifat dasar manusia.
- Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilakan semua cirri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilakan cirri-ciri tersebut. Namun, orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan cirri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita. Sebagian besar dari lima belas cirri tersebut sudah jelas dengan sendirinya, tetapi kita mungkin bertanya-tanya tentangt pengalaman puncak (experience peak). Maslow mendefinisikan pengalaman puncak sebagai saat-saat tatkala dunia tampak utuh dan orang itu merasa selaras dengannya. Pengalaman puncak selalu melekat dalam diri kita dan mengubah persepsi kita mengenai dunia agar menjadi lebih baik lagi.
Bagi sebagian orang, pengalaman puncak diasosiasikan dengan agama, tetapi bisa juga tercetus melalui seni, musik, dan momen-momen yang memerlukan pengambilan resiko. Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan. Orang-orang yang bisa mengaktualisasikan diri pada dasarnya hanya memenuhi potensi dirinya sendiri. Dengan demikian, seseorang bisa saja menjadi tolol, boros, sombong dan tidak sopan sekaligus, tetapi masih tetap bisa mengaktualisasikan dirinya. Orang yang mampu mencapai aktualisasi diri hanya kurang dari satu persen, sebab tidak banyak dari kita yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki.
Aplikasi Teori Motivasi Maslow
Bagi siswa yang selalu memperhatikan materi pelajaran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guru. Karena di dalam diri siswa tersebut ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadaran sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya, kurang dapat mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Di sini tugas guru adalah membangkitkan motivasi peserta didik sehingga ia mau melakukan belajar.
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1. Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah
Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Hal ini akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.
3. Saingan/kompetisi
Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian
Sudah sepantasnya siswa yang berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang bersifat membangun.
5. Hukuman
Hukuman diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya.
6. Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik.
7. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
8. Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok
9. Menggunakan metode yang bervariasi, dan
10. Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-didiknya. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri.
5. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Kelebihan Teori Belajar Humanistik
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
3. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
2. Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.
Kamis, 29 Oktober 2009
teori vroom, fiedler, path goal
TUGAS PSIKOLOGI MANAJEMEN
“LEADERSHIP”
“TEORI VROOM,FIEDLER, & PATH GOAL”
NAMA KELOMPOK
AGENG RIYADI 10507006
ARDANI 10507022
M. ABRIANTO 10507290
PANJI AGUNG 10507277
1. Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton
Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang
* Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori ini,
- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group problem solving situation)
- menyarankan
2. Teori kepemimpinan Contingensi of Leadership (Fiedler)
Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :
- hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya
- sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).
- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )
- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )
Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :
1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )
2. Struktur Tugas ( Task Structure )
3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )
Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :
- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan
- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:
- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task
- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.
- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:
- legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
- reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
- coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
- expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
- referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
- information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.
Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.
3. PATH-GOAL THEORY
Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian
Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut : Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi.
* Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
* Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
* Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
* Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Dengan menggunakan salah satu dari empat
Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar :
1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand.
1. Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a) Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai
b) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon
c) Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih
2. Karakteristik Lingkungan
Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
* Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
- Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
- Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
- Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.