Kamis, 29 Oktober 2009

teori vroom, fiedler, path goal

TUGAS PSIKOLOGI MANAJEMEN

“LEADERSHIP”

“TEORI VROOM,FIEDLER, & PATH GOAL”

NAMA KELOMPOK

AGENG RIYADI 10507006

ARDANI 10507022

M. ABRIANTO 10507290

PANJI AGUNG 10507277

1. Teori Kepemimpinan Vroom & Yetton

Teori kepemimpinan Vroom&Yetton disebut juga Teori Normatif (Normative Theory), karena mengarah kepada pemberian suatu rekomendasi tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu. Yaitu berfokus pada tingkat partisipasi yang diperbolehkan oleh pemimpin dalam pengambilan keputusan dan seleksi pendekatan yang akan memaksimalkan manfaat yang akan didapat kelompok dan pada waktu yang bersamaan, meminimalisasi gangguan pencapaian tujuan kelompok. .

* Teori Kepemimpinan Vroom&Yetton ini merupakan salah satu teori contingency. Menurut teori ini, gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat digunakan untuk :

- membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok ( group problem solving situation)

- menyarankan gayagaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria efektivitas keputusan, kriteria penemukenalan jenis situasi pemecahan persoalan.

2. Teori kepemimpinan Contingensi of Leadership (Fiedler)

Model teori ini dikembangkan oleh Fiedler. Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit. Model ini serupa sekali dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (maturity) pengikutnya. Perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok, pengikut dapat menentukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan.

Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada :

- hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahannya

- sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.

Dalam hal yang pertama yaitu hubungan dan interaksi pemimpin dengan bawahanya dapat dinilai dengan kuesioner LPC ( Least Prefered Coworker ). Skor pada Lpc ini dapat digunakan untuk mengidenfikasikan Gaya Kepemimpinan (jarak psikologis antara pemimpin dengan bawahan, apakah pemimpin berorientasi pada tugas / hubungan).

- Jika skor LPC Tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan ( relationship oriented )

- Jika skor LPC Rendah, maka pemmpin berorientasi pada tugas ( task oriented )

Sedangkan untuk hal yang kedua yaitu sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi , ditentukan oleh tiga variabel situasi :

1. Hubungan Pemimpin – Anggota ( Leader – Member Relations )

2. Struktur Tugas ( Task Structure )

3. Kekuasaan Kedudukan ( Position Power )

Dari skor LPC dan situasi dapat disimpulkan bahwa :

- Pemimpin dengan skor LPC Rendah ( Pemimpin yang berorientasi pada tugas) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan

- Pemimpin dengan skor LPC Tinggi ( Pemimpin yang berorientasi pada hubungan ) dapat berhasil dalam situasi kelompok yang moderat derajat keuntungannya

LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.

Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.

Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:

- Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah structured task atau unstructured task

- Leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.

- Position power : ukuran aktual seorang pemimpin, ada beberapa power yaitu:

  • legitimate power : adanya kekuatan legal pemimpin
  • reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan
  • coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman
  • expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya
  • referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya
  • information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.

Dari hasil penelitian, Fiedler menyimpulkan bahwa pendekatan yang berorientasikan tugas lebih efektif bila kondisi kelompok sangat menguntungkan (pemimpin baik/hubungan kelompok baik, posisi pemimpin kuat, dan struktur buruk/relasi kelompok buruk , posisi pemimpin lemah dan tugas yang tidak jelas). Kepemimpinan yang berorientasi kelompok lebih disukai/baik bila kondisi relatif stabil, yang dengan demikian perhatian dapat dicurahkan pada preservasi relasi kelompok, upaya pencegahan konflik, dan pekerjaan yang tidak efisien yang kemudian dapat membuat keadaan kelompok menjadi tidak harmonis.

3. PATH-GOAL THEORY

Robert House mengemukakan Path- Goal Theory yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang pemimpin didasarkan atas kemampuannya di dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi para anggota kelompok, dengan menggunakan rancangan insentif untuk penghargaan dan hukuman bagi mereka yang berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut seorang pemimpin diwajibkan untuk menggunakan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai dengan tuntutan situasi. Perilaku pemimpin akan diterima oleh anggota kelompok sejauh mereka menganggap itu sebagai sumber kepuasan langsng atau kepuasan pada masa yang akan datang.

Robert House memulai teorinya dengan formulasi awal sebagai berikut : Fungsi motivasi pemimpin terdiri dari peningkatan imbalan pribadi kepada bawahan atas pencapaian tugasnya, membuat jalan yang lebih mudah untuk mendapatkan imbalan tersebut, dengan memberi penjelasan, mengurangi hambatan, dan meningkatkan peluang untuk mendapatkan kepuasan pribadi.

Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi.

* Kepemimpinan pengarah (directive leadership)

Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

* Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)

Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.

* Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)

Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.

* Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)

Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.

Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif. Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.

Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar :

1. Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.

2. Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.

Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand.

1. Karakteristik Bawahan

Pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:

a) Letak Kendali (Locus of Control)

Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive.

b) Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)

Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.

c) Kemampuan (Abilities)

Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.

2. Karakteristik Lingkungan

Pada faktor situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:

a) Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

b) Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.

* Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:

- Struktur Tugas

Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.

- Wewenang Formal

Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi

- Kelompok Kerja

Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.

Kamis, 22 Oktober 2009

leadership teori x&y dan teori 4 sistem

TUGAS PSIKOLOGI MANAJEMEN

“LEADERSHIP”

“TEORI X & Y DAN TEORI 4 SISTEM”

NAMA KELOMPOK

AGENG RIYADI 10507006

ARDANI 10507022

M. ABRIANTO 10507290

PANJI AGUNG 10507277

1) Teori X dan teori Y - Douglas Mc Gregor (1906-1964)

Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan, menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong kinerja.

A) Teori X

· Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia.
Sumber daya manusia saat ini dianggap paling berharga dan memiliki peranan yang sangat penting dalam keberadaan serta kelangsungan hidup suatu perusahaan. Sebuah organisasi tidak mungkin ada tanpa manusia, karena manusia merupakan elemen yang selalu dijumpai dalam setiap organisasi dan mempunyai dampak langsung pada kesejahteraan perusahaan.
Seberapa baik sumber daya manusia dikelola akan menjadi hal yang makin penting bagi kesuksesan perusahaan di masa mendatang. Pengelolaan sumber daya manusia yang baik dengan sendirinya akan menjadi bagian yang sangat penting dari tugas manajemen perusahaan, sebaliknya jika pengelolaan sumber daya manusia kurang baik maka efektivitas kerjanya akan menurun. Dengan demikian semakin pentingnya memahami sumber daya manusia yang baik akan sangat mempengaruhi proses pencapaian tujuan perusahaan.
Jika kita perhatikan Manajemen sumber daya manusia mengandung dua pengertian utama yaitu pengertian manajemen dan pengertian sumber daya manusia. Manajemen mengandung pengertian sebagai suatu proses pencapaian tujuan yang dilakukan dengan menggunakan bantuan sumber daya manusia, sedangkan sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang melakukan aktivitas.

· Tujuan dan Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Dengan memahami fungsi manajemen, maka akan memudahkan pula untuk memahami fungsi manajemen sumber daya manusia yang selanjutnya akan memudahkan kita dalam mengidentifikasi tujuan manajemen sumber daya manusia.
Tujuan manajemen sumber daya manusia adalah meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam perusahaan melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis dan sosial.
Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan pada dasarnya adalah :
1. Peningkatan efisiensi
2. Peningkatan efektivitas
3. Peningkatan produktivitas
4. Rendahnya tingkat absensi karyawan
5. Rendahnya tingkat perpindahan pegawai
6. Tingginya kepuasan kerja karyawan
7. Tingginya kualitas pelayanan
8. Rendahnya complain dari pelanggan
9. Meningkatnya bisnis perusahaan.

· Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia adalah tugas-tugas yang dilakukan oleh Manajemen Sumber Daya Manusia dalam rangka menunjang tugas manajemen perusahaan menjalankan roda organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

B) Teori Y

· Manajemen Sumber Daya Manusia memiliki fungsi-fungsi pokok yang sama dengan fungsi manajemen dengan penerapan di bidang Sumber Daya Manusia sebagai berikut:
a) Fungsi Perencanaan
Melaksanakan tugas dalam perencanaan kebutuhan, pengadaan, pengembangan, dan pemeliharaan sumber daya manusia.
b) Fungsi Pengorganisasian
Menyusun suatu organisasi dengan mendesain struktur dan hubungan antara tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh tenaga kerja yang dipersiapkan.
c) Fungsi Pengarahan
Memberikan dorongan untuk menciptakan kemauan kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien

d) Fungsi Pengendalian
Melakukan pengukuran-pengukuran antara kegiatan yang dilakukan dengan standar-standar yang telah ditetapkan, khususnya di bidang tenaga kerja.

· Di samping fungsi-fungsi pokok, Manajemen Sumber Daya Manusia memiliki beberapa fungsi-fungsi operasional. Fungsi operasional Manajemen Sumber Daya Manusia meliputi:

· Fungsi Pengadaan (Procurement), yang di dalamnya meliputi sub fungsi :

a) Perencanaan Sumber Daya Manusia
Dalam perencanaan sumber daya manusia (Human Resources Planning/Man Power Planning) dilakukan penentuan kebutuhan tenaga kerja baik secara kuantitatif maupun kualitatif, serta cara memenuhi kebutuhan tenaga kerja itu.
b) Penarikan Calon Tenaga Kerja
Penarikan calon tenaga kerja (Recruitment) ini berupa usaha menarik sebanyak mungkin calon-calon tenaga kerja yang memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dari sumber-sumber tenaga kerja yang tersedia.
c) Seleksi
Seleksi (Selection) merupakan proses pemilihan tenaga kerja dari sejumlah calon tenaga kerja yang dapat dikumpulkan melalui proses penarikan calon tenaga kerja.
d) Penempatan
Penempatan tenaga kerja (Placement) yang terpilih pada jabatan yang ditentukan.
e) Pembekalan
Pembekalan dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada tenaga kerja terpilih tentang deskripsi jabatan, kondisi kerja dan peraturan organisasi.

· Fungsi Pengembangan (Development), yang di dalamnya meliputi sub fungsi:
a) Pelatihan dan Pengembangan
Pelatihan dan pengembangan tenaga kerja dilakukan dengan mengikutsertakan tenaga kerja tersebut dalam program pelatihan dan program pengembangan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan seorang tenaga kerja, sehingga mampu menyesuaikan atau mampu mengikuti perkambangan kebutuhan organisasi.
b) Pengembangan karier.
Pengembangan karier meliputi kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan karier seorang tenaga kerja, baik dalam bentuk kenaikan pangkat maupun mutasi jabatan.

2) Teori sistem 4

· Sistem konsultatif,

Kepemimpinan tipe ini masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-keputusan dilakukan oleh pemimpin. Bedanya adalah bahwa tipe konsultatif ini menggunakan komunikasi dua arah dan memberikan suportif terhadap bawahan mendengar keluhan dan perasaan bawahan tentang keputusan yang diambil. Sementara bantuan ditingkatkan, pengawasan atas pelaksanaan keputusan tetap pada pemimpin.

Ciri-cirinya :

ü Pemimpin memberikan baik pengarahan maupun dukungan tinggi.

ü Pemimpin mengadakan komunikasi dua arah dan berusaha mendengarkan perasaan, gagasan, dan saran bawahan.

ü Pengawasan dan pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.

· Sistem partisipatif,

sebab kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan seimbang antara pemimpin dan bawahan, pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah makin bertambah frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan makin banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan telah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan tugas.

Ciri-cirinya :

Ø Pemimpin memberikan dukungan tinggi dan sedikit/rendah pengarahan.

Ø Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti antara pemimpin dan bawahan.

Ø Komunikasi dua arah ditingkatkan.

Ø Pemimpin mendengarkan bawahan secara aktif.

Ø Tanggung jawab pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar pada bawahan.

  • Sistem exploitative-authoritative (sistem penguasa pemeras)

Sistem ini menunjukkan bahwa pemimpin bersifat sangat otokrasi, sedikit kepercayaan terhadap bawahan dan bersifat paternalistik. Bawahan diberi motivasi dengan cara ditakut-takuti dan memberi hukuman. Sistem komunikasi cenderung berbentuk komunikasi ke bawah.

  • Sistem benevolent-authoritative (sistem penguasa pemurah)

Dalam sistem manajemen ini, pemimpin memiliki kepercayaan yang terselubung dengan bawahan. Motivasi terhadap bawahan dengan cara diberi hadiah, menakuti-nakuti, dan pemberian hukuman. Pemimpin sudah memperbolehkan komunikasi ke atas (up-ward communication), mendengarkan pendapat bawahan, serta melimpahkan wewenang pengambilan keputusan.

Senin, 12 Oktober 2009

kekusaan menurut french roven

Nama :Mochammad Abrianto

Kelas : 3PA05

Npm : 10507290

KUASA PAKSAAN (COERCIVE POWER)


Juga dikenali sebagai kuasa dendaan. Kuasa ini bersifat negatif kerana biasa perubahan perlakuan seseorang itu bukan atas kehendaknya tetapi lebih kepada ancaman dan dendaan yang akan diberikan oleh pihak atasan bila ianya tidak diikuti. Kuasa yang wujud cara ini biasanya tidak akan kekal. Ia dikatakan sebagai kuasa kerana ia dapat mengawal pekerja melalui paksaan, dendaan, ancaman dan mungkin juga berbentuk ugutan. Antara bentuk dendaan dan hukuman yang dipraktikkan ialah seperti tidak memberi kenaikan pangkat, menahan kenaikan gaji, menamatkan tugas atau pemberhentian dengan laporan yang negatif.

Pemimpin yang menggunakan kuasa paksaan selalunya bergantung kepada kekuatan fizikal dan mental yang ada padanya, dan pemimpin yang mengamalkan kuasa ini tidak menghargai keupayaan sebenar yang ada pada kakitangannya. Secara amnya, subordinat akan mengikut arahan pemimpin semata-mata untuk mengelak daripada didenda oleh ketuanya. Maka segala kemahuan ketua akan dituruti. Walau bagaimanapun kuasa paksaan mendatangkan rasa tidak puas hati serta menimbulkan kemarahan para pekerja jika didenda dengan sebab yang tidak sepadan atau munasabah dan akhirnya akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Seterusnya ia mampu memecahbelahkan organisasi di mana para pekerja dan pemimpin tidak sehaluan. Motivasi dan komitmen subordinat juga menurun jika kuasa paksaan dipraktikkan di dalam organisasi sebagai kuasa utama. Oleh kerana kuasa paksaan memberi pengukuhan negatif kepada orang bawahan, maka kuasa paksaan merupakan kuasa yang paling lemah untuk membuat kakitangan menurut perintah dan mempunyai hubungan negatif dengan keberkesanan.



KUASA INSENTIF (REWARD POWER)


Kuasa Ganjaran bermaksud seorang individu atau pentadbir yang mempunyai kelebihan untuk memberi ganjaran atau hadiah kepada kakitangan yang menurut arahannya. Kuasa ganjaran ini dianggap sebagai satu kuasa yang positif yang boleh menyebabkan perubahan dalam tingkahlaku dan perlakuan seseorang. Dengan kata lain ia merupakan pengukuhan positif. Namun kuasa ini ada had dan batasannya untuk membolehkan seseorang itu bertindakbalas darinya. Ia juga kuasa yang dapat mengawal pekerja melalui hadiah ganjaran bonus atau menjanjikan pelbagai bentuk insentif yang boleh membawa perubahan positif kepada para pekerja atau ahli-ahli dalam organisasi tersebut. Kadangkala berbentuk memberi tugas dan cabaran baru kepada seseorang yang menunjukkan prestasi kerja yang memuaskan dan baik di samping memberikan ganjaran atau hadiah sampingan.

Contohnya seorang pengetua boleh memberi kenaikan gaji kepada guru-guru bawahannya sekiranya mereka berkhidmat dengan cemerlang. Selain itu, dia juga dapat memberi beberapa keistimewaan tertentu kepada guru tersebut di sekolah. Pemimpin seperti ini dapat memberikan pengukuhan yang positif kepada para kakitangannya di mana mereka akan berusaha sebaik mungkin bukan sahaja untuk memperoleh ganjaran atau habuan yang telah dijanjikan tetapi untuk mencapai matlamat dan tanggungjawab seorang guru yang berdedikasi. Sekiranya, ganjaran itu tidak diberi atau janji pemimpin itu tidak ditunaikan kuasa pemimpin itu akan berkurang sedikit demi sedikit. Begitu juga rasa hormat pengikutnya turut berkurang terhadap pemimpin yang tidak mengotakan janjinya itu.

Kelemahan kuasa ganjaran ialah ia tidak dapat meningkatkan prestasi kerja kakitangan dalam situasi tertentu di mana mereka hanya bekerja dengan bersungguh-sungguh apabila dijanjikan dengan ganjaran tambahan atau hadiah selain dari gajinya yang diterima mereka pada setiap bulan. Sistem pendidikan di Malaysia juga mengamalkan sistem dalam organisasi di mana guru-guru yang cemerlang akan diberi anugerah dan diberi ganjaran sebanyak RM1000. Hal ini sedikit sebanyak dapat menaikkan semangat para guru untuk mendidik dengan lebih cemerlang.

KUASA SAH (LEGITIMATE POWER)


Kuasa yang sah timbul dari persepsi individu terhadap sesuatu arahan yang diberikan. Adakah arahan itu boleh diberikan oleh seseorang itu kepada orang bawahannya? Jika ianya dapat diterima maka kuasa ini menjadi satu kuasa yang sah dan tidak akan timbul masalah untuk mereka yang menerimanya melakukan arahan dan tugas yang diberikan itu. Ia terhasil akibat pelantikan seseorang dalam sesebuah organisasi. Kuasa yang ada pada seorang itu pula bergantung kepada kedudukannya dalam organisasi tersebut. Kuasa sah yang dimaksudkan di sini ialah kuasa rasmi yang diperoleh seseorang daripada autoriti pihak atasan melalui penyerahan kuasa yang memberikan ia sesuatu kedudukan dalam organisasi . Ia mendapat restu orang yang dipimpin bahawa ketua itu mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi mereka. Keadaan ini timbul dari nilai-nilai budaya, struktur sosial, ataupun kedudukan ketua

Misalnya seorang pengurus akan mempunyai kuasa yang lebih dari seorang pegawai eksekutifnya yang juga mempunyai kuasa melebihi seorang penyelia syarikat. Kuasa seperti ini membolehkan seorang pengurus itu menggunakannya untuk merancang strategi, mereka bentuk dan mengawal sistem maklumat dan seterusnya merangka polisi dan peraturan organisasi.. Contoh kedua ialah guru besar di mana beliau dilantik oleh kementerian pelajaran maka beliau mempunyai kuasa sah untuk mentadbir sekolah yang diberikan kepadanya dan para kakitangan di sekolah itu perlu patuh kepadanya kerana kedudukannya ialah di atas mereka dan dia dilantik dengan sah oleh pihak kementerian.

Kuasa sah dari segi budaya ialah pengiktirafan daripada pengikut disebabkan oleh pemimpin itu lebih veteran dan berkedudukan daripada pengikut dan mempunyai banyak pengalaman dalam aspek struktur sosial dari segi kesetiaannya terhadap organisasi itu. Kuasa sah merupakan asas yang penting untuk mendapatkan kepatuhan daripada kakitangan kerana pemimpin diiktiraf oleh kuasa yang lebih tinggi tetapi ini tidak menjanjikan keberkesanan organisasi.

KUASA PAKAR (EXPERT POWER)


Kuasa ini timbul apabila A mempunyai sumber dari segi kepakaran, kemahiran dan pengetahuan yang tinggi dari pandangan B. Maka apa yang diberikan dan diharapkan oleh A ke atas B akan dituruti dengan mudahnya. Kuasa pakar di peroleh oleh mereka yang mempunyai pengetahuan atau kemahiran dalam bidang-bidang tertentu contohnya guru matematik mahir dalam bidangnya dan kemungkinan besar tidak mahir dalam bidang lain seperti mata pelajaran geografi. Seseorang mungkin dikatakan mempunyai kuasa pakar apabila dia mengetahui secara mendalam tentang sesuatu perkara atau bidang yang diceburi dan amat sukar ditandingi oleh orang lain. Kebiasaannya pendapat mereka ini didengar dalam satu tindakan yang berkaitan dengan bidang yang memang merupakan kepakarannya. Pentadbir mempunyai kuasa kepakaran apabila mereka faham bagaimana hendak mengajar tau bagaimana untuk mengendalikan masalah-masalah yang dihadapi oleh guru-guru. Seorang pentadbir atau pemimpin yang tidak memahami dan menggunakan bentuk-bentuk kuasa ini dan juga kuasa pejabat sah akan hanya menikmati kawasan pengaruh yang terhad.

Kuasa kepakaran ini wujud dalam dua keadaan mengikut tugas rasmi yang dijalankan oleh seorang itu. Ia menjadi kuasa pakar seorang pengurus yang dapat menggunakan minda, idea, pengetahuan dan kemahirannya dalam memastikan setiap subordinatnya mengikuti dan melaksanakan tugas- tugas yang telah dipertanggungjawabkan kepadanya. Kuasa yang sama juga boleh didapati pada subordinat yang tanpanya boleh menjejaskan perjalanan dan operasi pengeluaran organisasi secara umumnya. Seseorang pemimpin yang memiliki kuasa pakar yang tinggi dalam sesuatu bidang dijangka akan memudahkan pekerjaan orang lain kerana dia mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam bidang itu. Oleh itu, para pengikut mudah untuk memberikan kerjasama dengannya dan meminta pendapatnya dalam pekerjaan mereka. Selain itu, suasana kerja yang sihat dapat diwujudkan melalui kuasa ini kerana pengikut mengiktiraf pemimpin kerana kelebihan yang ada padanya dan menjadikan pemimpinnya sebagai rujukan utama.

KUASA RUJUKAN (REFERENT POWER)

Kuasa rujukan adalah sama dengan karisma di mana ia merujuk kepada kebolehan seseorang ketua untuk menggalakkan penggabungan atau penglibatan daripada pengikut-pengikutnya dan lebih kepada kebolehan untuk mempengaruhi orang lain melalui ciri-ciri perlakuan yang ada padanya. Sikap dan kebolehan ini boleh menghasilkan pelbagai tanggapan dan juga dalam kebanyakan hal menyelesaikan masalah. Kuasa ini datang dari perasaan dan keinginan pengikut mengenal pasti orang yang lebih berkuasa tanpa mengira kesan positif atau negatif. Karisma pemimpin menjadi asas kepada kuasa sah dan kuasa rujukan. Namun ia bergantung kepada ahli kumpulan yang sanggup menerima, mengenal pasti dan setuju kepada ciri-ciri yang ditunjukkan.

Pemimpin dijadikan sebagai rujukan atau contoh kepada pengikut kerana mempunyai kualiti, karisma dan reputasi yang baik. Apabila dikaitkan dengan karisma, Weber menyatakan ia bukannya bersifat ketuhanan tetapi kualiti luar biasa pada sifatnya yang dipenuhi dengan tenaga, keyakinan, wawasan masyarakat akan datang. Karisma memainkan peranan yang sedikit dengan unsur-unsur kecantikan dan kegagahan fizikal.
Beribu-ribu tahun dahulu, manusia percaya pada tuhan-tuhan dan dewa-dewa. Tetapi tidak ramai daripada mereka yang pernah melihat secara fizikal bagaimana dewa-dewa itu berkuasa. Justeru itu, ada lelaki yang seakan-akan memiliki kuasa tuhan berkata-kata dengan kepetahan lidah, wawasan yang tinggi dan aura yang menebal dan lelaki itu berdiri seperti seorang Tuhan. Apabila nabi-nabi diturunkan oleh Tuhan untuk kaum-kaumnya, mereka dianggap sebagai orang yang berkarisma. Kuasa rujukan Jesus Chris jelas lebih tersohor kerana beliau bukan sahaja menyeru kepada satu-satu bangsa, tetapi seluruh himpunan manusia. Hal ini kerana beliau mempunyai karisma. Oleh itu, karisma memang penuh dengan misteri atas dua sebab. Pertama, sifat misteri itu dipanggil karisma dan kedua orang yang memiliki karisma sengaja menjadikannya misteri. Benarlah satu pepatah Arab, Apabila diketahui sebab-sebabnya, maka terbatallah keajaibanâ. Dalam konteks ini, pengikut sentiasa ingin mengaitkan dirinya kepada pemimpinnya kerana dia amat menghormati pemimpin itu. Oleh itu, kuasa rujukan merupakan kuasa kedua terpenting bersama-sama kuasa ganjaran untuk pengikut patuh pada arahan seseorang pemimpin.

Kuasa rujukan wajar dipraktikkan di sekolah-sekolah di Malaysia kerana suasana kerja yang sihat akan terhasil dengan menggunakan kuasa ini. Para kakitangan akan mencontohi pemimpin mereka contohnya seorang pengetua itu selalu datang awal ke sekolah maka guru-guru akan mencontohinya untuk datang awal ke sekolah. Dalam kata lain ketua mereka merupakan idola dan role model kepada mereka. Maka mereka akan menghormati ketua mereka. Namun amat jarang kita menemui pemimpin yang mempunyai kuasa ini.

Rabu, 07 Oktober 2009

korban pembangunan hutan

Nama : Mochammad Abrianto

Kelas : 3 PA05

Npm : 10507290

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT ADAT

Masyarakat Adat: Korban Pembangunan Kehutanan

Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.

Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budaya dan agamanya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama. Hanya saja bangunan "negara-bangsa" yang majemuk sebagaimana digagas oleh Para Pendiri Bangsa ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar "negara-bangsa" yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di sektor kehutanan, misalnya, ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan hutan yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Dengan mengeluarkan dan menerapkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang kemudian diganti dengan UU No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan, secara sepihak telah menempatkan HUTAN ADAT sebagai HUTAN NEGARA. Dalam hal ini HUKUM telah DISALAH-GUNAKAN menjadi hanya instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.

Berhembusnya angin "reformasi" yang berhasil menempatkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, sebagai Presiden RI, juga tidak merubah kebijakan dan hukum yang mengatur alokasi dan pengelolaan hutan. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru, ternyata tidak dilakukan. Akibat politik sumberdaya alam yang sentralistik, bertumpu pada pemerintah, represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan maraknya konflik atas sumberdaya hutan antara masyarakat adat dengan pengusaha yang didukung pejabat pemerintah. Bahkan sebagian di antaranya berdimensi kekerasan karena pemerintah dan pengusaha sering melibatkan aparat pertahanan dan keamanan untuk meredam konflik-konflik yang muncul. Dari berbagai konflik vertikal seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hak-hak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim surat protes ke pemerintah sampai aksi blokade jalan, pengambil-alihan "base camp" sampai penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi dan merusak ekosistem hutan yang secara turun-temurun menghidupi mereka, selalu berujung pada tuduhan anti-pembangunan dan kriminalisasi.

Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan kawasan hutan yang hanya memihak kepentingan modal ini, nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan kehutanan yang ekstraktif seperti saat ini tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal kehutanan. Sampai saat ini, sangat sedikit sekali dari para ekonom dan praktisi pembangunan kehutanan yang mau mengakui bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban pembangunan. Kelompok ini masih sulit menerima bahwa kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari proyek-proyek pembangunan seperti HPH dan HTI, bukan karena mereka malas atau tidak rasional.

Otonomi Daerah: Pemberlanjutan Pengrusakan Hutan

Di tengah pemberlanjutan 'ideologi' pembangunan ekspolitatif dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie ke KH. Abdurahman Wahid dan saat ini Megawati Sukarnoputri, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat (kecuali mungkin di pusat-pusat kekuasaan di Jakarta karena terlalu sibuk dengan urusan merebut atau mempertahankan kekuasaan). Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui "kemitraan sejajar" di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.

Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan hutan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya, termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa perhitungan ketersediaan sumberdaya hutan yang matang.

Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama setahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksplitasi sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin dari pemerintah pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya.

HUTAN ADAT: Jantung Kehidupan Masyarakat Adat

Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur, Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/"property" rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3) adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995).

Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian.

Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah memporak-porandakan dan merusak hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat di nusantara. Kawasan-kawasan hutan yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas 'logging road' dan 'skidding road', berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah kerusakan hutan akan menyusul, seperti: operasi IPK, penebangan haram, perladangan berpindah, perkebunan skala besar dan sebainya. Pemetaan hutan yang dilakukan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) dinyatakan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutan.

Comment :

Kita sebagai warga negara indonesia harus bisa merawat dan menjaga hutan. Karna kalau kita merusaknya akan bisa berakibat bencana alam contoh:

a. banjir bandang

b. tanah longsor

c. terjadi erosi dll

maka dari itu sejak dini kita harus menjaga dan merawat dan melestarikan

hutan – hutan tersebut.